ASUHAN KEPERAWATAN PPOM (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN)
ASUHAN
KEPERAWATAN
PPOM
(PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN)
A.
PENGERTIAN
Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan satu
kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten
dari jalan nafas di dalam paru. Termasuk dalam kelompok ini yaitu : bronchitis
menahun, emfisema paru, beberapa bentuk dari pada asma, bronkiektasis, dan lain
lain.
Walaupun masing masing penyakit mempunyai karakteristik tersendiri tetapi
sering secara klinik, radiologic dan fisiologik terdapat “overlapping” satu
sama lain hingga diagnosis pasti daripada salah satu penyakit sukar ditetapkan.
Secara fungsional semuanya akan mengakibatkan peningkatan tahanan saluran nafas
(“airways resistance”). Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease
(GOLD) 2006, PPOM dibagi atas 4 derajat:
1. PPOM Ringan: biasanya tanpa gejala,
faal paru VEP1/KVP < 70%
2. PPOM Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau
50% =< VEP1 < 80% prediksi
3. PPOM Berat: VEP1/KVP < 70%, atau
30%=<VEP1<50% prediksi
4. PPOM Sangat Berat: VEP1/KVP < 70%
atau VEP1<30% atau VEP1<50% disertai gagal napas kronik.
Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOM) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang ditandai dengan
sebutan PPOM adalah : Bronkhitis, Emifisema paru-paru dan Asma bronkial.
Perjalanan PPOM yang khas adalah panjang dimulai pada usia 20-30 tahun dengan
“batuk merokok” atau batuk pagi disertai pembentukan sedikit sputum mukoid. Mungkin
terdapat penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini
tidak diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya
serangan brokhitis akut makin sering timbul, terutama pada musim dingin dan
kemampuan kerja penderita berkurang, sehingga pada waktu mencapai usia 50-60 an
penderita mungkin harus mengurangi aktifitas.
Penderita dengan tipe emfisematosa yang mencolok, perjalanan
penyakit tampaknya tidak dalam jangka panjang, yaitu tanpa riwayat batuk
produktif dan dalam beberapa tahun timbul dispnea yang membuat penderita
menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkopnea, hipoksemia dan kor pulmonale,
maka prognosis adalah buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun
sesudah timbulnya penyakit. (Price & Wilson, 1994 : 695)
B.
ETIOLOGI
Beberapa
penyakit yang menyebabkan yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif
menahun adalah :
1.
Emfisema
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding
alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa
pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka
keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai
"overinflation".
Emfisema adalah
penyakit yang gejala utamanya penyempitan (obstruksi) saluran nafas , karena
kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan
yang luas. Emfisema secara anatomis menyerang paru– paru mulai dari bagaian
paru distal sampai bronkiolus terminal (acinus) dimana tempat terjadinya
pertukaran gas. Emfisema yang menyeluruh adalah terjadinya dilatasi permanen
pada semua bagaian asinus pernapasan dengan dissertai destruksi jaringan
parenkim paru tanpa disertai pembentukan jaringan parutdan menyebabkan
menurunnya kekuatan ekspirasi. Emfisema paru merupakan salah satu kelompok dari
golongan penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
di indonesia yang disebabkan oleh semakin tingginya pajanan faktor resiko
,seperti semakin banyaknya jumlah perokok pada usia muda serta pencemaran udara
didalam, diluar dan ditempat kerja.
Emfisema mengakibatkan
pembesaran acinus permanen dan abnormal yang disertai dengan destruktif.
Apabila destruksi terjadi pada ruang distal sampai bronkiolus terminal maka
dapat diklasifikasikan sebagai emfisema vesikuler dan apabila destruksi terjadi
pada jaringan diantara ruang udara diklasifikasikan sebagai emfisema intelobular
atau interstitial.
Klasifikasi
emfisema :
a.
Emfisema Sentrilobular
(CLE)
Emfisema
sentrilobular hanya menyerang sentral lobus, bagaian bronkiolus respiratorius
dan duktus alveolaris, sedangkan pada daerah distal tetap normal. Adanya
emfisema juga dapat menyebabkan kerusakan dinding dan pembesaran bronkiolus
respiratorius.
Dilihat
dari bagaian – bagaian paru, sering menyerang lobus atas paru – paru dan lebih
banyak ditemukan pada laki – laki daripada wanita karena berkaitan dengan kebiasaan
merokok,bronkitis kronis dan peradangan pada saluran nafas distal, dan juga
berkaitan dengan sekresi protease ekstraseluler oleh sel – sel radang lokal .
sering terjadi kekacauan rasio perfusi – ventilasi yang menimbulkan hipoksi,
hiperkapnia (peningkatan karbon dioksida dalam darah arteri) dan polisitemia ,dan gagal jantung sebelah
kanan. Pada saat kondisi tersebut pasien sianosis , edema perifer dan gagal
nafas.
b. Emfisema
panlobular (PLE)
Emfisema
panlobular jarang timbul pada lobus bawah paru , menyerang seluruh lobulus
respiratorius, brokiolus respiratorius. Emfisema panlobular mengenai bagaian
aasinus yang sentral dan perifer . emfisema panlobular memiliki ciri khas dada
yang hiperinflasi dan ditandai dispnea
saat aktifitas serta penurunan berat badan .Emfisema tipe primer :
1) Berkaitan
dengan defisiensi enzim alfa 1 – antiprotease.
2) Pada
saat terjadi peradangan dilepaskan enzim proteolitik.
3) Protease
yang dihasilkan oleh bakteri , PMN, monosit dan makrofag pada saat fagositosis
memecah elastin dan makromolekul pada jaringan paru – paru.
4) Rokok
dapat menyebabkan respon peradangan yang mengakibatkan pelepasan enzim
proteolitik , sedangkan oksidan pada asp menghambat kerja enzim alfa 1 –
antiprotease.
Penyebab obstruksi
jalan nafas pada emfisema :
a. Inflamasi
dan pembengkakan bronki .
b. Produksi
lendir yang berlebihan.
c. Hilangnya
elastisitas jalan nafas.
d. Kolaps
bronkiolus.
e. Redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi.
2.
Asma
Asma adalah suatu
inflamasi kronis yang mengganggu saluran nafas yang menyebabkan rekasi
berlebihan dengan keterbatasan aliran udara . Asma merupakan suatu penyakit yang
dicirikan oleh hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai
jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan
saluran-saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme. Beberapa
individu dengan asma mengalami respons imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel
mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator)
seperti histamine, baradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru memperngaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membrane mukosa, dan pembentukan mucus yang sangat banyak.
3.
Bronkitis
ronchitis adalah penyakit pernapasan dimana selaput lendir
pada saluran-saluran bronchial paru meradang. Ketika selaput yang teriritasi
membengkak dan tumbuh lebih tebal, hal ini menyebabkan penyempitan bronkus,
berakibat pada serangan-serangan batuk yang disertai oleh dahak dan sesak napas
C.
TANDA DAN GEJALA
Gejala-gejala
awal dari PPOM, yang
bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk
biasanya ringan dan sering disalah-artikan sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak normal. Sering terjadi
nyeri kepala dan pilek. Selama pilek, dahak
menjadi kuning atau hijau karena adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering dirasakan. Bisa juga disertai
mengi/bengek.
Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu
bekerja dan bertambah parah secara
perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi,
mencuci baju, berpakaian dan
menyiapkan makanan. Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena
setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga
penderita menjadi malas makan.
Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya gagal jantung.
Pasien mudah merasa lelah dan secara fisik tidak mampu melakukan aktivitas
sehari-ri Pada stadium akhir dari
penyakit, sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang
merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.
1.
Emfisema
a. ispnea
b. akipnea
c. Inspeksi : barrel chest, penggunaan
otot bantu pernapasan
d. Perkusi : hiperresonan, penurunan
fremitus pada seluruh bidang paru
f. Hipoksemia
g. Hiperkapnia
h. Anoreksia
i.
Penurunan BB
j.
Kelemahan
2.
Asma
a. Batuk
b. Dispnea
c. Hipoksia
d. Takikardi
e. Berkeringat
f. Pelebaran tekanan nadi
3.
Bronkitis
a. Batuk berdahak (dahaknya bisa
berwarna kemerahan)
b. Sesak napas ketika melakukan olah
raga atau aktivitas ringan
d. Lelah
e. embengkakan pergelangan kaki, kaki
dan tungkai kiri dan kanan
f. Wajah, telapak tangan atau selaput
lendir yang berwarna kemerahan
g. Pipi tampak kemerahan
h.
sakit kepala
D.
PATOFISIOLOGI
1.
Emfisema
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadi kerusakan
pada dinding alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara akan terganggu akibat dari perubahan ini.
Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat
dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, jalan napas kolaps
sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan diantara ruang aveolus (disebut
blebs) dan diantara parenkim paru-paru (disebut bullae).
Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada
“dead space” atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja
napas meningkat dikarenkan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru
untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2.
Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru,
selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema
masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada
pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis kronis dan
merokok.
2.
Asma
Beberapa individu dengan asma mengalami respons imun yang
buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian
menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen
mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine, baradikinin, dan
prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A).
Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru memperngaruhi
otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan
membrane mukosa, dan pembentukan mucus yang sangat banyak.
3.
Bronkitis
a) Peningkatan muchus
Muchus yang berlebihan terjadi akibat, Displasia sel-sel penghasil
mucus di bronchus dan Silia yang melapisi bronchus mengalami kelumpuhan atau
disfungsi serta meta plasia karena iritasi yang disebabkan oleh udara
pernafasan. Perubahan ini menyebabkan gangguan system escalator mukosiliaris
dan menyebabkan penumpukan muchus kental, dalam jumlah besar yang
sulit dikeluarkan dari saluran nafas.
Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan
tersumbat sehingga membuat fase ekspirasi lebih lama dari keadaan normal. Penumpukan muchus akan menjadi
media persemaian microorganism sehingga menyebabkan infeksi. Adanya
infeksi menyebabkan muchosa menjadi purulen, kemudian timbul peradangan dan
menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Alveoli yang berdekatan dengan
bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan
fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing termasuk bakteri.
Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat
perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin
terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan emfisema dan
bronkiektasis.
b)
Pembentukan
edema
Alveoli adalah tempat dimana oksigen dari udara diambil oleh
darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam
alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang
sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya
dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya.
Adanya infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru,
penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi
pada paru-paru dapat menyebabkan edema. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan
cairan dari tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh
darah, berakibat pada pulmonary edema.
Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru
sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan
pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas
dan pengoksigenan darah yang buruk.
c) Kontraksi bronki
Terjadi karena reaksi alergi, hal ini menyebabkan antibodi
IgE berikatan dengan allergen menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi ini
menyebabkan terlepasnya histamine yang mengakibatkan Konstriksi otot
polos bronchialis dan Merangsang pembentukan mucus dan meningkatkan
permeabilitas kapiler.
PATHWAY PPOM
E.
KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang
dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi,
dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit
paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi
ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek
obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan
otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.
F.
PEMERIKSAAN FISIK (FOKUS PENGKAJIAN)
1) Kaji frekuensi dan irama pernapasan.
2) Inspeksi warna kulit dan membran
mukosa.
3) Auskultasi bunyi nafas.
4) Pastikan bila pasien menggunakan
otot asesori saat bernafas , yaitu dengan cara mengangkat bahu saat bernafas,
retraksi otot abdomen saat bernafas , dan pernafasan cuping hidung.
5) Kaji bila ekspansi dada simetris
atau asimetris.
6) Kaji bila nyeri dada pada
pernafasan.
7) Kaji batuk (produktif atau tidak
produktif). Bila produktif tentukan warna sputum.
8) Tentukan bila pasien mengalami
dispneu atau orthopneu.
9) Kaji tingkat kesadaran.
Pola
Sehari-hari
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
-
Keletihan, kelelahan, malaise
-
Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena
sulit bernapas
-
Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi
-
Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas
atau latihan
Tanda:
-
Keletihan, gelisah, insomnia
-
Kelemahan umum/kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
Gejala:
-
Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda:
-
Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardia berat, disritmia, distensi vena leher
-
Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
-
Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan
diameter AP dada)
-
Warna kulit/membran mukosa: normal atau abu-abu/sianosis
-
Pucat dapat menunjukkan anemia
c. Makanan/Cairan
Gejala:
-
Mual/muntah, nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
-
Ketidakmampuan untuk makan karena distres pernapasan
-
Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronkitis)
Tanda:
-
Turgor kulit buruk, edema dependen
-
Berkeringat, penuruna berat badan,
penurunan massa otot/lemak subkutan (emfisema)
-
Palpitasi abdominal dapat
menyebabkan hepatomegali (bronkitis)
d. Hygiene
Gejala:
-
Penurunan kemampuan/peningkatan
kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda:
-
Kebersihan, buruk, bau badan
e. Pernafasan
Gejala:
-
Nafas pendek (timbulnya tersembunyi
dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada emfisema) khususnya
pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma), rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma)
-
Bentuk menetap dengan produksi
sputum setiap hari (terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum (hijau, putih dan
kuning) dapat banyak sekali (bronkitis kronis)
-
Episode batuk hilang timbul biasanya
tidak produktif pada tahap dini meskipun dapat terjadi produktif (emfisema)
-
Riwayat pneumonia berulang: terpajan
pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam jangka panjang (mis., rokok sigaret)
atau debu/asap (mis., abses, debu atau batu bara, serbuk gergaji)
-
Faktor keluarga dan keturunan, mis.,
defisiensi alfa-anti tripsin (emfisema)
-
Penggunaan oksigen pada malam hari
atau terus menerus
Tanda:
-
Pernafasan: biasanya cepat, dapat
lambat, penggunaan otot bantu pernapasan
-
Dada: hiperinflasi dengan peninggian
diameter AP, gerakan diafragma minimal
-
Bunyi nafas: mungkin redup dengan
ekspirasi mengi (emfisema); menyebar, lembut atau krekels, ronki, mengi
sepanjang area paru.
-
Perkusi: hiperesonan pada area paru
-
Warna: pucat dengan sianosis bibir
dan dasar kuku.
f. Keamanan
Gejala:
-
Riwayat reaksi alergi atau sensitif
terhadap zat/faktor lingkungan
-
Adanya/berulangnya infeksi
-
Kemerahan/berkeringat (asma)
G.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan radiologist
Pada bronchitis kronik secara
radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines
terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks
paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
b. Corak paru yang bertambah
Pada
emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
a) Gambaran defisiensi arteri, terjadi
overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat
pada emfisema panlobular dan pink puffer.
b) Corakan paru yang bertambah.
c) Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1,
KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory
flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan
diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan
hanya pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi
menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
2. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2
naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi
vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang
pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur
55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
3. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah
rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi
aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah
Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat
RBBB inkomplet.
4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen
penyebab infeksi.
5. Laboratorium darah lengkap
6. Tes Hemoglobin
7. Kaji persepsi diri klien.
8. Kaji berat badan dan masukan rata –
rata cairan dan diet.
H.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOM bertujuan untuk
menghilangkan/mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan
secepatnya agar oksigenasi dapat kembali normal, keadaan ini dipertahankan dan
diusahakan menghindari perburukan penyakit secara garis besar penatalaksanaan
PPOM dibagi 4 kelompok; penatalaksanaan umum, penggunaan obatan, O2 dan rehabilitasi.
1. Penatalaksanaan Umum
Yang termasuk dalam penatalaksanaan
umum adalah pendidikan terhadap penderita dan keluarga, menghindari rokok dan
zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi, menghindari infeksi,menciptakan
lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan, mengkonsumsi diet yang cukup
dan memberikan imunoterapi bagi penderita yang punya riwayat alergi.
2.
Pemberian Obat-obatan
Bronkodilator merupakan obat utama untuk
mengatasi/mengurangi obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru
obstruksi. Bronkodilator yang digunakan adalah golongan simpatomimetik, xantin
dan antikolinergik.
Golongan simpatomimetik mengaktifkan adenilsiklase dengan
akibat mengurangi? produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi otot polos
saluran nafas. Pemberian ß2 agonis dapat menimbulkan tremor, tetapi dengan
meneruskan pemberian obat, maka biasanya gejala tremor, tetapi dengan
meneruskan pemberian obat, maka biasanya gejala tremor akan berkurang. Bersaman
dengan pemberian ß2 agonis ini dapat diberikan Na Kromolin. Pemberian obat
simpatomimetik secara inhalasi akan mengurangi efek samping, selain itu
pemberian secara inhalasi akan merangsang mobilisasi lendir. Golongan xantin
yaitu teofilin bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase yang
menginaktifkan siklik AMP. Pemberian kombinasi xantin dan simpatomimetik
memberikan efek sinergis sehingga efek optimal dapat dicapai dengan dosis
masing-masing lebih rendah dan efek samping juga berkurang. Kadar terapi
tercapai bila kadar teofilin darah 10-20 meg/ml.
Pada penderita gagal jantung dan penyakit hati, dosis
aminofilin yang diberikan dikurangi. Golongan xantin ini tidak saja berguna
sebagai bronkodilator tetapi juga punya efek yang kuat dan berlangsung lama
dalam me? daya kontraktilitas diafragma dan daya tahan terdapat kelelahan otot
pada penderita PPOM. Gol. antikolinergik seperti Ipatropium bromid punya efek
bronkodilator yang lebih baik pada penderita PPOM disbanding dengan gol.
simpatomimetik. Penambahan antikolinergik pada penderita yang telah mendpt simpatomimetik
akan memberikan efek bronkkodilatasi yang lebih besar.
Antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi
akut. Diperlukan pemeriksan kultur untuk mendapatkan antibiotik yang ssuai.
Pemberian kortikosteroid jangka pendek dapat bermanfaat pada serangan akut
yaitu pemberian prednison 40-60 mg/hari.
Pada penderita dengan hiperaktivitas bronkus, pemberian
kortikosteroid inhalasi menunjukkan perbaikan fungsi paru dan gejala penyakit
Pemberian kortikosteroid jangka panjang memperlambat progrisivitas penyakit
pada PPOM dengan dekompensasi kordis kiri dianjurkan pemberian digitalis, namun
dosis hendaknya dipantau secara kuat. Dosis dipertahankan antara
0,125-0,25mg/hari biasanya cukup adekuat. Pemberian duretika pada pasien yang
sesak nafas yang bertambah akibat edema paru da gagal jantung kanan dapat
menolong. Diuretika juga berguna untuk mengurangi retensi air akibat penggunan
steroid.
3. Terapi
Oksigen
Pada penderita dengan hipoksemi,
yaitu PaO2 < 55 mmHg pemberian oksigen konssentrasi rendah 1-3 liter/menit
secara terus-menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi
beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis
pada penderita PPOM terutama pada sat adanya infeksi saluran nafas.
Gejala gangguan tidur, gelisah dan
sakit kepala mungkin merupakan ptunjuk perlunya O2 tambahan. Terapi O2
mem-perbaiki kandungan O2 arteri dan memperbanyak O2 ke jantung, otak dan organ
vital lain. O2 memperbaiki vasokonstriksi pulmonalis, menurunkan tekanan
vascularpulmonr yang memungkinkan ventrikel kanan mengisi sekuncup.
4. Rehabilitasi
Meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan pekerjaan.
Fisioterapi bertujuan memobilisasi
dahak dan mengendalikan kondisi fisik ketingkat yang optimal. Berbagai cara
fisioterpi dapat dilakukan; latihn relaksasi, nafas, perkusi dinding dada,
drainase postural dan prog uji latih. Rehabilitasi psikis berguna untuk
menenangkan penderita yang cemas dan tertekan karena penyakitnya.Sedangkan
rehabilitasi pekerjan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjan
yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. secara umum rehabilitasi ini btujuan
agar dapat mengurus dirinya dan beraktivitas yang bermanfaat ssuai dengan
kemampuan.
I.
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
Dx 1: Bersihan jalan nafas tidak
efektif b/d sekresi yang kental dan berlebihan
Tujuan:
Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas.
Kriteria Hasil:
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas (batuk efektif, dan
mengeluarkan secret.
Intervensi:
1. Auskultasi bunyi
nafas dan catat adanya bunyi nafas
Rasional : Beberapa
derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat
dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.
2. Kaji/pantau
frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional :
Tachipnoe biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan selama /
adanya proses infeksi akut. Pernafasan melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang disbanding inspirasi.
3. Kaji pasien untuk
posisi yang nyaman, tinggi kepala tempat tidur dan duduk pada sandaran tempat
tidur.
Rasional:
Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan
mempergunakan gravitasi. Dan mempermudah untuk bernafas serta membantu
menurunkan kelemahan otot-otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
4. Dorong/bantu
latihan nafas abdomen atau bibir
Rasional :
Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispoe dan menurunkan jebakan
udara.
5. Observasi
karakteristik batuk dan bantu tindakan untuk efektifan upaya batuk.
Rasional : Mengetahui keefektifan batuk. Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada lansia, penyakit akut atau kelemahan
Rasional : Mengetahui keefektifan batuk. Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada lansia, penyakit akut atau kelemahan
6. Tingkatkan masukan
cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung serta berikan cairan hangat
dan masukan cairan antara sebagi pengganti makanan.
Rasional : Hidrasi
membantu menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran. Cairan hangat
dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan anatara antara makan dapat meningkatkan
distensi gaster dan tekanan diafragma
7. Kolaborasi dalam
pemberian obat sesuai dengan indkasi
Rasional:
mempercepat proses penyembuhan.
Dx 2: Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan berhubungan dengan dispnoe, anoreksia, mual muntah.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan berat
badan. dan status nutrisi
Kriteria hasil: Pasien tidak
mengalami kehilangan berat badan lebih lanjut atau mempertahankanberat badan.
Intervensi:
1. Pantau masukan dan
keluaran tiap 8 jam, jumlah makanan yang dikonsumsi serta timbang berat badan
setiap minggu.
Rasional : Untuk
mengidentifikasi adanya kemajuan atau penyimpangan dari yang diharapkan.
Berguna menentukan kebutuhan kalori dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
2. Auskultasi bunyi
usus
Rasional :
Penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster.
3. Berikan perawatan
oral
Rasional : Rasa
tidak enak, bau adalah pencegahan utama yang dapat membuat mual dan muntah.
4. Ciptakan suasana
yang menyenangkan, lingkungan yang bebas dari bau selama waktu makan.
Rasional: Suasana
dan lingkungan yang tidak sedap selama waktu makan dapat menyebabkan anoreksia.
5. Rujuk pasien ke
ahli diet untuk memantau merencanakan makanan yang akan dikonsumsi.
Rasional: dapat
membantu pasien dalam merencanakan makan dengan gizi yang sesuai.
Dx 3: Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan menetapnya
sekret, proses penyakit kronis.
Tujuan : Tidak terjadi gejala-gejala
infeksi
Intervensi:
1. Awasi suhu setiap 4
jam, hasil kultur sputum dan hasil pemeriksaan leukosit serta warna dan
konsistensi sputup
Rasional : Untuk
mengidentifikasi kemajuan yang dapat dicapai dan penyimpangan dari sasaran yang
diharapkan (infeksi yang mungkin terjadi). Demam dapat terjadi karena infeksi
atau dehidrasi.
2. Observasi warna,
bau sputum untuk pemeriksaan kultur.
Rasional : Dapat
membantu menegakkan diagnose infeksi saluran nafas dan mengidentifikasi kuman
penyebabnya. Sekret berbau, kuning dan kehijauan menunjukkan adanya infeksi.
3. Tunjukkan dan bantu
pasien tentang pembuangan sputum.
Rasional : mencegah
penyebaran patogen.
4. Diskusikan
kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Rasional :
Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tekanan darah
terhadap infeksi.
5. Berikan antibiotic
sesuai indikasi dan evaluasi keefektifannya.
Rasional : Sebagai
pencegahan dan pengobatan infeksi dan mempercepat proses penyembuhan.
Dx 4: Intolerans
aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigenasi untuk
aktivitas.
Tujuan: klien menunjukkan peningkatan
toleransi terhadap aktivitas.
Intervensi:
1. Panatau nadi dan
frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas
Rasional:
Mengidentifikasi kembali penyimpangan tujuan yang diharapkan.
2. Dukung pasien dalam
menegakkan latihan teratur dengan menggunakan exercise, berjalan perlahan atau
latihan yang sesuai.
Rasional :
Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak O2.
3. Berikan bantuan
dalam melaksanakan aktivitas sesuai yang diperlukan dan dilakukan secara
bertahap
Rasional: Dapat
mengurangi penggunaan energy yang berlebihan.
Dx 5: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan
suplai oksigen dan kerusakan alveoli
Tujuan: Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernapasan.
Kriteria hasil:
a) GDA dalam batas
normal
b) warna kulit membaik
c) frekuensi nafas
12-24x/menit
d) bunyi nafas bersih,
tidah ada batuk
e) Frekuensi nadi
60-100x/menit
f) Tidak dispneu
Intervensi:
1. Kaji frekuensi,
kedalaman pernafasan, serta catat penggunaan otot aksesori.
Rasional: Untuk
mengetahui derajat distress pernafasan/kronisnya suatu penyakit
2. Tinggikan kepala
tempat tidur dan bantu untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas.
Rasional: suplai
oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk
menurunkan kolaps jalan nafas.
3. Kaji/awasi secara
rutin kulit dan warna membrane mukosa
Rasional: Sianosis mungkin perifer
(terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir / daun telinga)
keabu-abuan dan dianosis sentral mengindikasikan beratnya
4. Dorong mengeluarkan sputum :
Penghisapan bila diindikasikan.
Rasional : Kental, tebal, banyaknya
sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas.
Penghisapan dilakukan bila batuk tidak efektif.
5. Awasi tingkat kesadran dan status
mental
Rasional: manifestasi umum dari
hipoksia
6. Awasi tanda vital dan irama jantung
Rasional : perubahan TD dapat
menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
7. Berikan oksigen tambahan dan
pertahankan ventilasi mekanik dan bantu intubasi
Rasional: Dapat memperbaiki atau
mencegah terjadinya hipoksia dan kegagalan nafas serta tindakan untuk
menyelamatkan hidup.
Dx
6: Gangguan pola tidur berhubungan dengan
batuk,ketidakmampuan untuk melakukan posisi terlentang dan rangsang lingkungan
Tujuan: Klien mampu mengungkapkan
kepuasan keseimbangan istirahat dan aktivitas
Kriteria hasil:
a) Klien
mengatakan bisa tidur dengan nyenyak
b) Klien
tidur malam 8-10 jam
Intervensi:
1. Jelaskan
tahap tidur dan signifikansinya:
a. Tahap
I : Tahap transisional antara bangun dan tidur (5 %)
b. Tahap
II : Tertidur tetapi mudah terbangun (50%-55%)
c. Tahap
III : Tidur lebih dalam dan lebih sulit terbangun
d. Tahap
IV : Tidur paling dalam,metabolisme dan gelombang otak lambat (10%)
Rasional: Orang pada
umumnya melewati empat atau lima tahap siklus tidur lengkap setiap malam,
apabila orang terbangun pada siklus tidur maka tidak merasa segar ketika bangun
pada harinya.
2. Diskusikan
perbedaan individual dalam kebutuhan tidur berdasarkan usia ,tingkat
aktivitas,gaya hidup dan tingkat setres
Rasional: Rekomendasi
yang umum untuk tidur 8 jam tiap malam nyatanya tidak mempunyai dasar ilmiah.
Individu yang dapat rileks dan istirahat dengan mudah memerlukan sedikit tidur
untuk merasa segar kembali. Dengan pertambahan usia , waktu tidur total secara
umum menurun , khususnya tidur tahap IV
dan waktu tahap I meningkat.
3. Tingkatkan
relaksasi dengan memberikan lingkungan yang tenang , privasi klien aman dan
ventilasi ruangan baik.
Rasional: Tidur dapat
dicapai sampai relaksasi terpenuhi , lingkungan rumah sakit mengganggu
relaksasi
4. Jelaskan
mengapa hipnotik sedatif harus dihindari
Rasional: Obat – obatan
ini akan kehilangan evektifitasnya setelah seminggu, dan peningkatan dosis akan
membawa resiko ketergantungan
5. Apabila
diinginkan , tinggikan kepala tempat tidur setinggi blok 25 cm atau gunakan
penopang dengan bantal dibawah lengan.
Rasional: Dapat
meningkatkan relaksasi dan tidur dengan memberi ruang pada paru – paru lebih
besar pengembangan melalui menurunkan tekanan ke atas organ – organ abdominal.
6. Lakukan
tindakan untuk mengontrol batuk yaitu hindari memberikan klien cairan panas
atau dingin pada waktu tidur, dan konsul dokter untuk antitusif sesuai
kebutuhan.
Rasional: Membantu
mencegah rangsangan batuk dan gangguan tidur.
DAFTAR
PUSTAKA
Carpenitto.LJ. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis. Ed 6.
EGC. Jakarta.
Marilynn
E. Doenges, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Wijayaningsih, K S. 2013. Standar Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media